Minggu, 08 Februari 2015

Cerpen Admin



Gambang Semanggi
 
Lapak Yu Warjinem terlihat sepi. Sudah tiga hari ini Yu Warjinem tidak ke pasar. Tak ada orang-orang yang biasanya mengerumuni lapaknya pada jam seperti ini. Mereka, orang-orang itu, adalah para pelanggan sayur semanggi Yu Warjinem yang terkenal murah dan lezat itu. Meskipun begitu ada saja satu-dua pelanggan yang masih datang dengan membawa harapan untuk kemudian kandas.

“Memangnya Yu Warjinem pergi ke mana sih? Kok sampai lama tidak jualan?” Tanya seseorang.

            “Yu Warjinem mengadu nasib ke Jakarta,” kata Yu Lastri, penjual gorengan yang biasa membeli sayur semanggi Yu Warjinem.

            “Yu Warjinem jualan semanggi di Jakarta?” Tanya seorang ibu yang sudah lama menjadi pelanggan Yu Warjinem.

            “Mungkin di Jakarta semanggi Yu Warjinem laris manis sebab dianggap makanan aneh. Bukankah sekarang ini yang aneh-aneh suka laku?”

            “Dia ke Jakarta karena kangen dan ingin dekat-dekat cucunya. Bukankah anak sulungnya tinggal di sana?” Sanggah Rojikun, penjual tempe tak jauh dari lapak Yu Warjinem.

            “Alah! Yu Warjinem ada-ada saja. Bukankah di sini dia sudah punya banyak pelanggan. Rejeki di mana-mana sama saja. Tidak mudah didapatkannya. Meskipun kita pergi ke kota belum tentu bisa lebih sukses dari yang mencari untung di pasar desa,” kata Tantri, pemilik lahan yang disewakan untuk lapak Yu Warjinem.

            “Walah! Sudahlah! Untuk apa kita mencampuri urusan rejeki orang lain. Biarlah Yu Warjinem melakukan apa yang dia mau. Yang penting bagaimana cara mendapatkan penyewa lain untuk menggantikan Yu Warjinem,” sergah Mat Toha, suami Tantri, yang berbadan gempal.

***

            Satu minggu sudah Yu Warjinem tinggal di Jakarta. Atas usaha Nardi, anak sulung Yu Warjinem, dia mendapatkan ijin untuk berjualan gado-gado di depan gang kampung.

            “Kenapa tidak berjualan semanggi?” Tanya Mutmainah, menantu Yu Warjinem saat Yu Warjinem baru datang di Jakarta.

            “Ibu bosan. Ibu ingin jualan makanan yang lain. Lagian bumbu gado-gado cuma beda sedikit dengan bumbu semanggi.” Jawab Yu Warjinem.

            “Ya sudah. Yang penting Ibu senang,” kata Mutmainah kemudian.

            Memang mulanya Yu Warjinem senang tinggal di Jakarta. Selain berjualan, setiap hari dia bisa bertemu Arjuna, cucu satu-satunya. Nardi dan Mutmainah sendiri juga senang Yu Warjinem tinggal bersama mereka. Selain tidak merepotkan, Yu Warjinem banyak membantu mereka mengurus Arjuna. Maklum saja, Nardi dan Mutmainah sama-sama bekerja dan terlalu capek untuk mengurus Arjuna berdua saja. Dengan adanya Yu Warjinem di sana, beban mereka bisa berkurang.

***

            Satu bulan berlalu Yu Warjinem mulai gelisah. Usaha gado-gadonya tak seramai seperti harapannya. Dalam sehari tak lebih sepuluh piring gado-gadonya terjual. Padahal dalam hitungannya, untuk balik modal saja dia harus menjual lima belas piring setiap hari. Tapi dia sendiri belum tahu penyebabnya.

            “Bagaimana Bu, apa sudah ramai dagangannya?” Tanya petugas RW yang datang menarik sewa tempat mingguan dan biaya kebersihan.

            “Orang lewat memang ramai, Pak. Tapi tidak ada yang datang ke sini,” jawab Yu Warjinem.

            “Masak sih?” Tanya petugas RW, “padahal kalau menurut saya gado-gado sampeyan cukup enak rasanya.”

            “Begitulah, Pak,” sambung Yu Warjinem, “apa kira-kira harganya terlalu mahal,ya?”

            “Ah, tidak juga. Mungkin belum saja. Orang-orang belum terbiasa, barangkali.”

            “Maksudnya?” Tanya Yu Warjinem penasaran.

            “Sampeyan kan masih baru jualannya. Di sini kan ada banyak penjual makanan. Dan rata-rata sudah punya pelanggan tetap. Jadi orang-orang di lingkungan sini belum terbiasa dengan keberadaan sampeyan.” Kata petugas RW.

Yu Warjinem tersenyum, walau kurang paham maksud ucapan petugas itu. Tapi dia menduga kalau petugas RW itu ingin mengatakan bahwa orang-orang di kampung ini tidak mudah menerima kehadiran orang lain yang bukan warga asli kampung. Butuh beberapa waktu lagi bagi orang-orang kampung dan Yu Warjinem untuk saling mengenal dan beradaptasi sebelum bisa “bertransaksi”.

***

            Untung tak dapat dinanti, malang tak bisa dihindari. Tiga hari sudah Yu Warjinem jatuh sakit. Tekanan darahnya naik dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Gati, anak bungsunya, pergi ke Jakarta begitu mendapat kabar dan langsung menuju ke rumah sakit. Dialah yang mengurus semua keperluan Yu Warjinem selama di rumah sakit. Sementara Nardi dan Mutmainah, bergantian datang setiap kali pulang kerja.

            “Bagaimana?” Tanya Yu Warjinem begitu Gati membuka pintu kamar malam itu.  

            “Kata Dokter, Ibu belum boleh pulang,” ucap Gati kepada Yu Warjinem.

            “Masakkan orang sudah sehat tidak boleh pulang,” gerutu Yu Warjinem, “mau dibayar pakai apa kalau Ibu di sini terus?”

             Gati tidak menjawab. Dia tahu ibunya sudah tidak memiliki simpanan uang untuk mengongkosi biaya rumah sakit. Begitu juga dengan uang pemberian Nardi (uang pinjaman dari koperasi di pabriknya) juga sudah habis untuk menebus obat.

            “Kalau begitu aku akan jual kalung dan gelangku. Mudah-mudahan dua hari lagi sudah bisa keluar. Jadi kita masih punya simpanan untuk ongkos pulang ke desa,” ucap Gati pada akhirnya.

            Mendengar ucapan Gati, Yu Warjinem tidak bisa berkata-kata. Ditatapnya sebentar wajah Gati, kemudian mendesahkan nafas panjang.  

            Kamar hening dan sepi seketika.  

***

            “Jadi semuanya lima juta tujuh ratus?” Tanya Gati kepada petugas rumah sakit.

            “Benar. Semuanya lima juta tujuh ratus,” jawab petugas rumah sakit.

            Gati membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Petugas itu menghitung uang yang diberikan Gati dan menyerahkan sebuah kuitansi.

            “Jadi semuanya lunas, ya?” Tanya Gati, seolah ingin memastikan tak ada lagi yang perlu dia bayar.

            “Benar, Bu. Semuanya lunas,” jawab petugas cantik itu, “terimakasih sudah berobat di sini,” kata petugas itu lagi.

            “Iya, sama-sama,” jawab Gati sepatutnya saja.

            Gati kembali ke kamar. Beberapa orang perawat sudah bersiap di sana. Mereka kemudian membantu Yu Warjinem keluar dengan kereta dorong sampai ke taxi.

            “Kau yakin, Gati?” Tanya Nardi saat mereka sudah di dalam taxi, “Setidaknya biarlah Ibu beristirahat dulu beberapa hari di rumahku.”

            “Tidak usah. Nanti malah repot. Aku sudah libur satu minggu. Tidak enak kalau harus libur lagi. Di rumah ada Yu Har yang bisa menjaga Ibu. Sampeyan tenang saja,” jawab Gati.

            “Kita kemana, Pak?” Tanya sopir taxi.

            “Gambir, Pak!” sahut Gati.

***

            Dua bulan purna sejak Yu Warjinem pulang ke desa. Dia telah pulih seperti sedia kala. Tulang-tulangnya terasa kuat untuk bergerak dan melakukan aktifitas apa saja. Menyapu daun-daun mangga dan beringin yang bercecer di halaman, menguras dan membersihkan bak mandi, memasak, dan memberi makan ayam-ayamnya bisa dia kerjakan tanpa kendala.

            Tapi, berada di rumah saja membuat Yu Warjinem tidak betah. Dengan uang hasil menggadaikan sawah, dia meminta Gati untuk mencarikan tempat berjualan di pasar. Lapaknya yang lama sudah di tempati orang lain. Mat Toha menyewakannya kepada Jumirah, bekas pembantu Yu Warjinem.

            “Memangnya Jumirah jualan apa di pasar?” Tanya Yu Warjinem kepada Yu Har.

            “Jualan apa? Ya semanggi lah, Yu,” jawab Yu Har.

            “Oh, jadi dia mau menyaingi aku?”

            “Wah, ya ndak tahu. Tapi kata orang-orang semanggi buatan Jumirah rasanya sama persis dengan semanggi Yu Warjinem,” kata Yu Har.

            “Itu kan kata orang-orang.”

            “Lho, lha wong orang-orang yang membeli, boleh-boleh saja mereka bilang begitu.”

            “Katamu sendiri bagaimana?”

            “Ya memang enak kok Yu,” sahut Yu Har seenaknya. Yu Warjinem diam.

            Di halaman, angin merontokkan daun-daun beringin yang tua dan kekuningan. Sudah itu, di tanah, daun-daun itu bergeser, terbawa angin kecil ke kanan dan berhenti di comberan.

***

            “Apa? Bagaimana bisa Wagirah memasang harga tinggi untuk tempat jelek seperti itu?” Protes Yu Warjinem tiba-tiba.

            “Tapi itu sudah bagus, Bu. Di tempat Kang Sapin, malah minta lebih dari itu. Itu pun kita harus bayar di muka untuk tiga tahun,” jawab Gati.

            “Tapi Wagirah itu siapa? Dia itu kan masih saudara bapakmu sendiri. Berani-beraninya dia kasih harga segitu sama kita!”

            “Saudara kan orangnya. Tanah dan lapaknya kan beda, Bu,” kata Gati mencoba mencairkan suasana.

            Syahdan, Yu Warjinem pun tersenyum dan mengalah. Dia sadar tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima kenyataannya.  

Melihat ibunya tersenyum, Gati merasa lega.

            “Kalau begitu, besok kita ke rumah Wagirah,” kata Yu Warjinem akhirnya.

***

            Pasar masih sepi ketika Jumirah datang. Bersama beberapa pedagang lain di sekitarnya, dia mulai mempersiapkan lapaknya. Tiba-tiba, Gino, penjaga ponten pasar, memberi isyarat agar dia melihat ke suatu arah.

Jumirah terperangah begitu dilihatnya seorang perempuan tua yang berjalan dari arah parkiran. Sementara di belakangnya, seorang perempuan lain terlihat menggendong bakul dan kantung plastik besar berisi kerupuk semanggi di atasnya.

“Yu Warjinem?” kata Jumirah saat perempuan itu berdiri di hadapannya, “Sehat, Yu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Dia justru balik bertanya.

“Ramai semanggimu, Jum?”

“Alhamdulillah, Yu. Berkat doa sampeyan,” jawab Jumirah, malu-malu.

“Syukurlah,” kata Yu Warjinem. “Ayo, Har, bisa kesiangan kita,” kata Yu Warjinem kepada Yu Har yang berdiri di belakangnya. Yu Har tersenyum sebentar kepada Jumirah, kemudian berjalan mengikuti Yu Warjinem ke lapak mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar