Senin, 09 Februari 2015

PBB Galang Donasi Buku untuk Madarasah Tsanawiyah di Nganjuk


Sejak 15 Januari sampai 29 Maret 2015 mendatang Perhimpunan Batur Bulan (PBB) mengadakan kegiatan penggalangan donasi buku. Buku-buku tersebut rencananya akan disumbangkan untuk sebuah madarasah Tsanawiyah di kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

 Terbuka kesempatan bagi perorangan dan organisasi lain untuk berpartisipasi. Donasi yang diberikan dapat berupa buku-buku semisal novel, buku motivasi, panduan berwirausaha, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, komik, dll, atau berupa dana langsung.

Donasi dapat dikirimkan ke alamat panitia penggalangan donasi buku PBB atau, khusus donasi berupa dana langsung dapat menyalurkannya melalui no rekening panitia. Selain itu, panitia juga menyediakan relawan yang siap mengambil donasi ke kediaman para donatur




Penggalangan donasi ditutup tanggal 29 Maret 2015, dan hasil kegiatan penyaluran donasi akan diinformasikan kepada para donatur melalui korespondensi.



Hubungi informasi panitia penggalangan donasi buku PBB melalui telp 
085 731 890 027 (Iffa) 
atau 
085 730 193 596 (Luluk)

Panitia penggalangan donasi buku PBB
Jl. Raya Ketintang Selatan No. 07
Surabaya
A/n. Iffa  

Minggu, 08 Februari 2015

Cerpen Admin



Gambang Semanggi
 
Lapak Yu Warjinem terlihat sepi. Sudah tiga hari ini Yu Warjinem tidak ke pasar. Tak ada orang-orang yang biasanya mengerumuni lapaknya pada jam seperti ini. Mereka, orang-orang itu, adalah para pelanggan sayur semanggi Yu Warjinem yang terkenal murah dan lezat itu. Meskipun begitu ada saja satu-dua pelanggan yang masih datang dengan membawa harapan untuk kemudian kandas.

“Memangnya Yu Warjinem pergi ke mana sih? Kok sampai lama tidak jualan?” Tanya seseorang.

            “Yu Warjinem mengadu nasib ke Jakarta,” kata Yu Lastri, penjual gorengan yang biasa membeli sayur semanggi Yu Warjinem.

            “Yu Warjinem jualan semanggi di Jakarta?” Tanya seorang ibu yang sudah lama menjadi pelanggan Yu Warjinem.

            “Mungkin di Jakarta semanggi Yu Warjinem laris manis sebab dianggap makanan aneh. Bukankah sekarang ini yang aneh-aneh suka laku?”

            “Dia ke Jakarta karena kangen dan ingin dekat-dekat cucunya. Bukankah anak sulungnya tinggal di sana?” Sanggah Rojikun, penjual tempe tak jauh dari lapak Yu Warjinem.

            “Alah! Yu Warjinem ada-ada saja. Bukankah di sini dia sudah punya banyak pelanggan. Rejeki di mana-mana sama saja. Tidak mudah didapatkannya. Meskipun kita pergi ke kota belum tentu bisa lebih sukses dari yang mencari untung di pasar desa,” kata Tantri, pemilik lahan yang disewakan untuk lapak Yu Warjinem.

            “Walah! Sudahlah! Untuk apa kita mencampuri urusan rejeki orang lain. Biarlah Yu Warjinem melakukan apa yang dia mau. Yang penting bagaimana cara mendapatkan penyewa lain untuk menggantikan Yu Warjinem,” sergah Mat Toha, suami Tantri, yang berbadan gempal.

***

            Satu minggu sudah Yu Warjinem tinggal di Jakarta. Atas usaha Nardi, anak sulung Yu Warjinem, dia mendapatkan ijin untuk berjualan gado-gado di depan gang kampung.

            “Kenapa tidak berjualan semanggi?” Tanya Mutmainah, menantu Yu Warjinem saat Yu Warjinem baru datang di Jakarta.

            “Ibu bosan. Ibu ingin jualan makanan yang lain. Lagian bumbu gado-gado cuma beda sedikit dengan bumbu semanggi.” Jawab Yu Warjinem.

            “Ya sudah. Yang penting Ibu senang,” kata Mutmainah kemudian.

            Memang mulanya Yu Warjinem senang tinggal di Jakarta. Selain berjualan, setiap hari dia bisa bertemu Arjuna, cucu satu-satunya. Nardi dan Mutmainah sendiri juga senang Yu Warjinem tinggal bersama mereka. Selain tidak merepotkan, Yu Warjinem banyak membantu mereka mengurus Arjuna. Maklum saja, Nardi dan Mutmainah sama-sama bekerja dan terlalu capek untuk mengurus Arjuna berdua saja. Dengan adanya Yu Warjinem di sana, beban mereka bisa berkurang.

***

            Satu bulan berlalu Yu Warjinem mulai gelisah. Usaha gado-gadonya tak seramai seperti harapannya. Dalam sehari tak lebih sepuluh piring gado-gadonya terjual. Padahal dalam hitungannya, untuk balik modal saja dia harus menjual lima belas piring setiap hari. Tapi dia sendiri belum tahu penyebabnya.

            “Bagaimana Bu, apa sudah ramai dagangannya?” Tanya petugas RW yang datang menarik sewa tempat mingguan dan biaya kebersihan.

            “Orang lewat memang ramai, Pak. Tapi tidak ada yang datang ke sini,” jawab Yu Warjinem.

            “Masak sih?” Tanya petugas RW, “padahal kalau menurut saya gado-gado sampeyan cukup enak rasanya.”

            “Begitulah, Pak,” sambung Yu Warjinem, “apa kira-kira harganya terlalu mahal,ya?”

            “Ah, tidak juga. Mungkin belum saja. Orang-orang belum terbiasa, barangkali.”

            “Maksudnya?” Tanya Yu Warjinem penasaran.

            “Sampeyan kan masih baru jualannya. Di sini kan ada banyak penjual makanan. Dan rata-rata sudah punya pelanggan tetap. Jadi orang-orang di lingkungan sini belum terbiasa dengan keberadaan sampeyan.” Kata petugas RW.

Yu Warjinem tersenyum, walau kurang paham maksud ucapan petugas itu. Tapi dia menduga kalau petugas RW itu ingin mengatakan bahwa orang-orang di kampung ini tidak mudah menerima kehadiran orang lain yang bukan warga asli kampung. Butuh beberapa waktu lagi bagi orang-orang kampung dan Yu Warjinem untuk saling mengenal dan beradaptasi sebelum bisa “bertransaksi”.

***

            Untung tak dapat dinanti, malang tak bisa dihindari. Tiga hari sudah Yu Warjinem jatuh sakit. Tekanan darahnya naik dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Gati, anak bungsunya, pergi ke Jakarta begitu mendapat kabar dan langsung menuju ke rumah sakit. Dialah yang mengurus semua keperluan Yu Warjinem selama di rumah sakit. Sementara Nardi dan Mutmainah, bergantian datang setiap kali pulang kerja.

            “Bagaimana?” Tanya Yu Warjinem begitu Gati membuka pintu kamar malam itu.  

            “Kata Dokter, Ibu belum boleh pulang,” ucap Gati kepada Yu Warjinem.

            “Masakkan orang sudah sehat tidak boleh pulang,” gerutu Yu Warjinem, “mau dibayar pakai apa kalau Ibu di sini terus?”

             Gati tidak menjawab. Dia tahu ibunya sudah tidak memiliki simpanan uang untuk mengongkosi biaya rumah sakit. Begitu juga dengan uang pemberian Nardi (uang pinjaman dari koperasi di pabriknya) juga sudah habis untuk menebus obat.

            “Kalau begitu aku akan jual kalung dan gelangku. Mudah-mudahan dua hari lagi sudah bisa keluar. Jadi kita masih punya simpanan untuk ongkos pulang ke desa,” ucap Gati pada akhirnya.

            Mendengar ucapan Gati, Yu Warjinem tidak bisa berkata-kata. Ditatapnya sebentar wajah Gati, kemudian mendesahkan nafas panjang.  

            Kamar hening dan sepi seketika.  

***

            “Jadi semuanya lima juta tujuh ratus?” Tanya Gati kepada petugas rumah sakit.

            “Benar. Semuanya lima juta tujuh ratus,” jawab petugas rumah sakit.

            Gati membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Petugas itu menghitung uang yang diberikan Gati dan menyerahkan sebuah kuitansi.

            “Jadi semuanya lunas, ya?” Tanya Gati, seolah ingin memastikan tak ada lagi yang perlu dia bayar.

            “Benar, Bu. Semuanya lunas,” jawab petugas cantik itu, “terimakasih sudah berobat di sini,” kata petugas itu lagi.

            “Iya, sama-sama,” jawab Gati sepatutnya saja.

            Gati kembali ke kamar. Beberapa orang perawat sudah bersiap di sana. Mereka kemudian membantu Yu Warjinem keluar dengan kereta dorong sampai ke taxi.

            “Kau yakin, Gati?” Tanya Nardi saat mereka sudah di dalam taxi, “Setidaknya biarlah Ibu beristirahat dulu beberapa hari di rumahku.”

            “Tidak usah. Nanti malah repot. Aku sudah libur satu minggu. Tidak enak kalau harus libur lagi. Di rumah ada Yu Har yang bisa menjaga Ibu. Sampeyan tenang saja,” jawab Gati.

            “Kita kemana, Pak?” Tanya sopir taxi.

            “Gambir, Pak!” sahut Gati.

***

            Dua bulan purna sejak Yu Warjinem pulang ke desa. Dia telah pulih seperti sedia kala. Tulang-tulangnya terasa kuat untuk bergerak dan melakukan aktifitas apa saja. Menyapu daun-daun mangga dan beringin yang bercecer di halaman, menguras dan membersihkan bak mandi, memasak, dan memberi makan ayam-ayamnya bisa dia kerjakan tanpa kendala.

            Tapi, berada di rumah saja membuat Yu Warjinem tidak betah. Dengan uang hasil menggadaikan sawah, dia meminta Gati untuk mencarikan tempat berjualan di pasar. Lapaknya yang lama sudah di tempati orang lain. Mat Toha menyewakannya kepada Jumirah, bekas pembantu Yu Warjinem.

            “Memangnya Jumirah jualan apa di pasar?” Tanya Yu Warjinem kepada Yu Har.

            “Jualan apa? Ya semanggi lah, Yu,” jawab Yu Har.

            “Oh, jadi dia mau menyaingi aku?”

            “Wah, ya ndak tahu. Tapi kata orang-orang semanggi buatan Jumirah rasanya sama persis dengan semanggi Yu Warjinem,” kata Yu Har.

            “Itu kan kata orang-orang.”

            “Lho, lha wong orang-orang yang membeli, boleh-boleh saja mereka bilang begitu.”

            “Katamu sendiri bagaimana?”

            “Ya memang enak kok Yu,” sahut Yu Har seenaknya. Yu Warjinem diam.

            Di halaman, angin merontokkan daun-daun beringin yang tua dan kekuningan. Sudah itu, di tanah, daun-daun itu bergeser, terbawa angin kecil ke kanan dan berhenti di comberan.

***

            “Apa? Bagaimana bisa Wagirah memasang harga tinggi untuk tempat jelek seperti itu?” Protes Yu Warjinem tiba-tiba.

            “Tapi itu sudah bagus, Bu. Di tempat Kang Sapin, malah minta lebih dari itu. Itu pun kita harus bayar di muka untuk tiga tahun,” jawab Gati.

            “Tapi Wagirah itu siapa? Dia itu kan masih saudara bapakmu sendiri. Berani-beraninya dia kasih harga segitu sama kita!”

            “Saudara kan orangnya. Tanah dan lapaknya kan beda, Bu,” kata Gati mencoba mencairkan suasana.

            Syahdan, Yu Warjinem pun tersenyum dan mengalah. Dia sadar tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima kenyataannya.  

Melihat ibunya tersenyum, Gati merasa lega.

            “Kalau begitu, besok kita ke rumah Wagirah,” kata Yu Warjinem akhirnya.

***

            Pasar masih sepi ketika Jumirah datang. Bersama beberapa pedagang lain di sekitarnya, dia mulai mempersiapkan lapaknya. Tiba-tiba, Gino, penjaga ponten pasar, memberi isyarat agar dia melihat ke suatu arah.

Jumirah terperangah begitu dilihatnya seorang perempuan tua yang berjalan dari arah parkiran. Sementara di belakangnya, seorang perempuan lain terlihat menggendong bakul dan kantung plastik besar berisi kerupuk semanggi di atasnya.

“Yu Warjinem?” kata Jumirah saat perempuan itu berdiri di hadapannya, “Sehat, Yu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Dia justru balik bertanya.

“Ramai semanggimu, Jum?”

“Alhamdulillah, Yu. Berkat doa sampeyan,” jawab Jumirah, malu-malu.

“Syukurlah,” kata Yu Warjinem. “Ayo, Har, bisa kesiangan kita,” kata Yu Warjinem kepada Yu Har yang berdiri di belakangnya. Yu Har tersenyum sebentar kepada Jumirah, kemudian berjalan mengikuti Yu Warjinem ke lapak mereka.





Kamis, 05 Februari 2015


BARU
Secondhand store 
di jl. Batu safir biru EG/10 kota baru Driyorejo




 Baju bekas import good condition harga dibawah 50rb
 Kaos cowok-cewek, celana jeans/kain cowok cewek, jaket cowok cewek, parka, bomber, sepatu, topi


Tersedia juga ragam sepatu bermerk

Cuma 170 Ribu IDR
Cuma 150 Ribu IDR
Cuma 75 Ribu IDR





Secondhand store 
di jl. Batu safir biru EG/10 kota baru Driyorejo


Rabu, 04 Februari 2015

Puisi-puisi A. Shodiqin


Seruling Nabi (I)

Gelayut angin merayap
Tatkalah temaram fajar mengangah
Cahaya langit
(pun) berebut ruang
angin dan cahaya melebur satu
pada otak,
Darah,
Sel,
Saraf,
Organ tubuh
kidung musafir menggaung
alam terbangun
air dan tanah terbangun
gunung terbangun
laut terbangun
darat terbangun
akar terbangun
bunga terbangun
larut dalam alunan seruling nabi
orang-orang khusuk mendengar petua
pada malam agung
cahaya bergelayut pergi
bersama jibril
kumandang kalam di puncak uhud
meski darah segar mengalir
demi sahid
para suhada’ meninggalkan bumi
dan, menghidupkan bumi dengan darah mereka...


Seruling Nabi (II)

Kubasuh wajah
dengan air tirtamaya
tatkala raut bulan berkerut
langit
ikut larut dalam syi’ir
yang lahir dari nafas kalam
indah sepanjang sejarah

Kudengar bahasa nabi
bertutur pada malam
yang mengumandang sujud
di saat daundaun tertidur oleh dingin
aku menembang
Kuagung agungkan nama hiyang widhi
lewat tembang suci dari hati
kubentang sajadah kemanusiaan
pada tiap kehampaan ruang

Oh, dingin membuat sikap
pada mental
disaat kebenaran diklaim ilmu pengetahuan
mencarilah kebenaran pada petua nabi
apalagi, seruling Muhammad.

agar
akal
hati
ruh
mengubah nilai palsu dalam diri
pada tubuh kuning
berpaling.                                                                                                                           
Glatik, 08 Okt. 13


Rayyab

Aku paham tiap angin dalam perut
perahu dalam lambung
ombak di jidat
bergemuru pilu mengepung
rintih tubuh
menahan nafsu
perut mengepul lapar
patuh
kutahu ini mendasar
mencari energi ilahi

air mata jarang jatuh
sesekali itu tasbih
gunung dalam mata
berintrupsi tiap hari
memuntahkan lava
suci
bersih
deras
mengalir pada kawah keilahian
di depan rayyab
aku berharap
 melewati
segala uji
(segala merintang)aku terjang
Kukubur baksil, cacing, ular, gagak di lambung
biar tamak melepung
Kupaksa  diri takarub
pada sajadah mihrab yang agung
                                                                                                                Glatik,23 Jul. 13 (Ramadan)




Biodata Penulis
A. Shodiqin lahir pada 16 Februari 1987 di Gresik, Jawa Timur. Lulusan MA Kanjeng Sepuh Sedayu, Gresik ini, sekarang sedang menempuh pendidikan S1 pada jurusan ilmu komunikasi di salah satu kampus swasta di Surabaya. Selain menulis puisi, dia juga menulis cerpen, esay, dan terlibat sebagai aktor dalam sejumlah pertunjukan teater.

Esay Admin



Beban
 
Bagaimana pun, bila kita berumur panjang, kita akan menjadi tua dan melemah. Mata kita tidak seawas ketika muda. Telinga kita uzur dan susah menangkap suara. kita merasa orang-orang di sekitar kita bersuara pelan saat berbicara dengan kita. Tulang kita keropos, mungkin pula tubuh kita menjadi bongkok. Belum lagi kita suka dihinggapi berbagai pikiran dan perasaan ganjil. Kita menduga kereta kencana milik bangsa jin sedang melintas di depan rumah kita, padahal itu gemerincing lonceng di gerobak penjual sate keliling belaka. Kita berbicara tiga puluh menit dan baru tahu bahwa yang kita ajak bicara bukanlah cucu kita, tapi temannya yang kebetulan singgah.

Usia tua, kata orang adalah usia dimana sejumlah hal dalam diri kita kembali seperti bayi. Kita lemah, kendur, dan butuh diantar ke kamar kecil, dipapah ke halaman rumah, atau didengarkan cerita-cerita tentang petualangan si kupu lincah dan Markis anak gajah. 

Ini adalah kondisi yang bertolak belakang dengan masa muda, yakni saat kita masih perkasa. Ketika tulang belulang masih mampu menyangga isi tubuh dengan sempurna. Ketika otot-otot kita masih terjaga keuletannya. Keseimbangan kita baik. Kita melompat ke udara, menyambar bola voli di bibir net, bergulingan di tanah, meloncat ke dalam kolam renang, beradu lari dengan seekor kuda, atau apa saja. Yang jelas, semua hal dapat kita lakukan dengan enteng dan seakan sempurna. 

Meskipun begitu, bukan berarti orang-orang tua ialah mahluk yang tidak bisa jatuh cinta sebagaimana  kita yang masih muda. Cinta adalah bunga tak bermata yang kewangiannya bisa menyambangi siapa saja dan di mana saja. Dan cinta yang tidak bisa melihat ini tidak perduli apakah ia terbit dari hati seorang remaja kepada teman seusiannya, ataukah dari belukar 90 tahun kepada anak dara yang baru berkembang pinggulnya. Cinta tidak memihak, katanya. Bedanya, bila orang-orang muda jatuh cinta dan mendapatkan pasangan hatinya, ia mungkin tidak akan menghabiskan seharian waktu bersama kekasihnya untuk duduk-duduk di taman atau menikmati teh hijau di geladak sebuah kapal pesiar, misalnya. 

Ia bisa melakukan lebih banyak dari itu. Ia bisa saja berpelesir dengan sepeda motor, menghabiskan semalaman waktu bersama pacar ketiganya di bawah guyuran bintang di puncak gunung yang indah (tapi gak boleh macam-macam, ya). Berselancar di kuta, snorkeling, nonton bioskop, dan berakhir pada pelarian intim yang tak terduga; sholat malam dan saling mendoakan kebaikan bersama. Khazanah cinta orang-orang muda barangkali lebih luas jangkauannya dibanding yang tua. Sebab, selain ambruknya nafsu dan gelora asmara, yang tua juga dibatasi oleh fisik dan stamina renta. 

Orang-orang tua memang selalu tidak berdaya dalam urusan fisik. Sedikit angin malam mungkin akan membuat sesak dadanya. Ia batuk-batuk dan berharap seseorang membungkus badannya dengan selimut atau memeluknya. Bila ia di meja makan, ia tidak akan makan kecuali bubur atau nasi liwet yang lembek dan sup yang tidak enak rasanya. Kalau ia sedang sendirian di rumah karena anak-anaknya yang brengsek (tidak soleh wa solihah) sedang pergi berdarma wisata, ia akan kelimpungan dan tak hendak berharap hidup lebih lama (nauzubillah). Dan tidak banyak yang bisa ia kerjakan untuk menjinakkan kebosanannya. Menata ulang letak benda-benda di kamarnya, misalnya.

Ia mungkin merasa meja di kamarnya perlu sedikit geser mendekati ranjangnya. Sebuah foto dinding di atas daun pintu mungkin sudah waktunya diturunkan. Dan, ia tidak menyukai lagi ada akuarium di dalam kamarnya. Ia tidak pernah bisa mengerjakan semua itu saat semua orang di rumahnya sedang pergi berdarma wisata. 

Anaknya, katakanlah, lelaki berumur 40 tahun tentu dapat dengan gampang mengerjakan semua itu untuk dirinya. Soal menurunkan foto dinding, ia cukup menggeser kursi dan sekali langkah ia akan bertengger di atasnya. Tangannya tidak akan kesulitan menjangkau pigura berdebu di sana. Menggeser meja ke dekat ranjang adalah soal sepele dan ia bisa melakukannya dalam hitungan detik saja. Dan akuarium yang harus segera meninggalkan kamar? ia dapat mengangkatnya seorangan saja. Bila perlu, andai orang tuannya meminta, ia bisa membuat atraksi dengan akuarium di tangannya. Ia bisa memutar-mutarkan akuarium itu dengan satu tangan saja. Melemparkannya ke udara dan bertepuk tangan sebanyak-banyaknnya sebelum menangkap kembali akuarium itu atau meletakkan akuarium itu di kepalanya dan membuat tari-tarian yang indah selama akuarium itu tetap berada di kepalanya. Ya, ya, itu adalah keajaiban-keajaiban yang tidak dimiliki orang-orang tua. 

Tetapi, orang tua itu bukan tanpa tenaga sama sekali. Ia tentu masih sanggup bila hanya berjalan keliling kompleks rumahnya tujuh kali. Mengangkut barbel seberat 2,5 kg di tangan kanan dan 1,5 kg di tangan kirinya. Barbel besi. Barbel yang dibungkus karet biru dan tampak seperti sepasang laut yang naik turun di kedua tangannya. Barbel yang bila dijatuhkan dari tangannya akan menimbulkan debam di lantai. Dan, andaikata barbel itu menimpa seekor semut rang-rang yang tidak sengaja melintas di sana, maka bukan hanya tidak mampu menyungginya, semut rang-rang tak berdosa itu pun akan mati seketika. Tubuhnya terurai, terbelah. (La haula wala quwwata illa billah)

Ah, ya, memang tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolonganNya. Berat atau ringan suatu perkara memang bergantung pada siapa yang menghadapinya dan mengapa beban itu didatangkan kepadanya.