Gambang Semanggi
Lapak
Yu Warjinem terlihat sepi. Sudah tiga hari ini Yu Warjinem tidak ke pasar. Tak
ada orang-orang yang biasanya mengerumuni lapaknya pada jam seperti ini.
Mereka, orang-orang itu, adalah para pelanggan sayur semanggi Yu Warjinem yang
terkenal murah dan lezat itu. Meskipun begitu ada saja satu-dua pelanggan yang
masih datang dengan membawa harapan untuk kemudian kandas.
“Memangnya
Yu Warjinem pergi ke mana sih? Kok
sampai lama tidak jualan?” Tanya seseorang.
“Yu Warjinem mengadu nasib ke
Jakarta,” kata Yu Lastri, penjual gorengan yang biasa membeli sayur semanggi Yu
Warjinem.
“Yu Warjinem jualan semanggi di
Jakarta?” Tanya seorang ibu yang sudah lama menjadi pelanggan Yu Warjinem.
“Mungkin di Jakarta semanggi Yu
Warjinem laris manis sebab dianggap makanan aneh. Bukankah sekarang ini yang
aneh-aneh suka laku?”
“Dia ke Jakarta karena kangen dan
ingin dekat-dekat cucunya. Bukankah anak sulungnya tinggal di sana?” Sanggah
Rojikun, penjual tempe tak jauh dari lapak Yu Warjinem.
“Alah!
Yu Warjinem ada-ada saja. Bukankah di sini dia sudah punya banyak pelanggan.
Rejeki di mana-mana sama saja. Tidak mudah didapatkannya. Meskipun kita pergi
ke kota belum tentu bisa lebih sukses dari yang mencari
untung di pasar desa,” kata Tantri, pemilik lahan yang disewakan untuk lapak Yu
Warjinem.
“Walah! Sudahlah! Untuk apa kita
mencampuri urusan rejeki orang lain. Biarlah Yu Warjinem melakukan apa yang dia
mau. Yang penting bagaimana cara mendapatkan penyewa lain untuk
menggantikan Yu Warjinem,” sergah Mat Toha, suami Tantri, yang berbadan gempal.
***
Satu minggu sudah Yu Warjinem
tinggal di Jakarta. Atas usaha Nardi, anak sulung Yu Warjinem, dia mendapatkan
ijin untuk berjualan gado-gado di depan gang kampung.
“Kenapa tidak berjualan semanggi?”
Tanya Mutmainah, menantu Yu Warjinem saat Yu Warjinem baru datang di Jakarta.
“Ibu bosan. Ibu ingin jualan makanan
yang lain. Lagian bumbu gado-gado cuma beda sedikit
dengan bumbu semanggi.” Jawab Yu Warjinem.
“Ya sudah. Yang penting Ibu senang,” kata Mutmainah kemudian.
Memang mulanya
Yu Warjinem senang tinggal di Jakarta. Selain berjualan, setiap hari dia bisa
bertemu Arjuna, cucu satu-satunya. Nardi dan Mutmainah sendiri
juga senang Yu Warjinem tinggal bersama mereka. Selain tidak merepotkan, Yu
Warjinem banyak membantu mereka mengurus Arjuna. Maklum saja, Nardi dan
Mutmainah sama-sama bekerja dan terlalu capek untuk mengurus Arjuna berdua saja. Dengan adanya Yu Warjinem di sana,
beban mereka bisa berkurang.
***
Satu bulan berlalu Yu Warjinem mulai
gelisah. Usaha gado-gadonya tak seramai seperti harapannya. Dalam sehari tak
lebih sepuluh piring gado-gadonya terjual. Padahal dalam hitungannya, untuk
balik modal saja dia harus menjual lima belas piring setiap hari. Tapi dia sendiri belum tahu penyebabnya.
“Bagaimana Bu, apa sudah
ramai dagangannya?” Tanya petugas RW yang datang menarik
sewa tempat mingguan dan biaya kebersihan.
“Orang lewat memang ramai, Pak. Tapi
tidak ada yang datang ke sini,” jawab Yu Warjinem.
“Masak sih?” Tanya petugas RW,
“padahal kalau menurut saya gado-gado sampeyan
cukup enak rasanya.”
“Begitulah, Pak,” sambung Yu
Warjinem, “apa kira-kira harganya terlalu mahal,ya?”
“Ah, tidak juga. Mungkin belum saja.
Orang-orang belum terbiasa, barangkali.”
“Maksudnya?” Tanya Yu Warjinem penasaran.
“Sampeyan kan masih baru jualannya.
Di sini kan ada banyak penjual makanan. Dan rata-rata sudah punya pelanggan
tetap. Jadi orang-orang di lingkungan sini belum terbiasa
dengan keberadaan sampeyan.” Kata
petugas RW.
Yu
Warjinem tersenyum, walau kurang paham maksud ucapan petugas itu. Tapi dia
menduga kalau petugas RW itu ingin mengatakan bahwa orang-orang di kampung ini
tidak mudah menerima kehadiran orang lain yang bukan warga asli kampung. Butuh beberapa
waktu lagi bagi orang-orang kampung dan Yu Warjinem untuk saling mengenal dan
beradaptasi sebelum bisa “bertransaksi”.
***
Untung tak dapat dinanti, malang tak
bisa dihindari. Tiga hari sudah Yu Warjinem jatuh sakit. Tekanan darahnya naik
dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Gati, anak bungsunya, pergi ke
Jakarta begitu mendapat kabar dan langsung menuju ke rumah sakit. Dialah yang
mengurus semua keperluan Yu Warjinem selama di rumah sakit. Sementara Nardi dan
Mutmainah, bergantian datang setiap kali pulang kerja.
“Bagaimana?” Tanya Yu Warjinem
begitu Gati membuka pintu kamar malam itu.
“Kata Dokter, Ibu belum boleh pulang,”
ucap Gati kepada Yu Warjinem.
“Masakkan orang sudah sehat tidak
boleh pulang,” gerutu Yu Warjinem, “mau dibayar pakai apa kalau Ibu di sini
terus?”
Gati tidak menjawab. Dia tahu ibunya sudah
tidak memiliki simpanan uang untuk mengongkosi biaya rumah sakit. Begitu juga
dengan uang pemberian Nardi (uang pinjaman dari koperasi di pabriknya) juga
sudah habis untuk menebus obat.
“Kalau begitu aku akan jual kalung
dan gelangku. Mudah-mudahan dua hari lagi sudah bisa keluar. Jadi kita masih
punya simpanan untuk ongkos pulang ke desa,” ucap Gati pada akhirnya.
Mendengar ucapan Gati, Yu Warjinem tidak bisa berkata-kata. Ditatapnya
sebentar wajah Gati, kemudian mendesahkan nafas panjang.
Kamar hening dan sepi seketika.
***
“Jadi semuanya lima juta tujuh
ratus?” Tanya Gati kepada petugas rumah sakit.
“Benar. Semuanya lima juta tujuh
ratus,” jawab petugas rumah sakit.
Gati membuka tasnya dan mengeluarkan
sebuah amplop. Petugas itu menghitung uang yang diberikan Gati dan menyerahkan
sebuah kuitansi.
“Jadi semuanya lunas, ya?” Tanya
Gati, seolah ingin memastikan tak ada lagi yang perlu dia bayar.
“Benar, Bu. Semuanya lunas,” jawab
petugas cantik itu, “terimakasih sudah berobat di sini,” kata petugas itu lagi.
“Iya, sama-sama,” jawab Gati
sepatutnya saja.
Gati kembali ke kamar. Beberapa
orang perawat sudah bersiap di sana. Mereka kemudian membantu Yu Warjinem
keluar dengan kereta dorong sampai ke taxi.
“Kau yakin, Gati?” Tanya Nardi saat
mereka sudah di dalam taxi, “Setidaknya biarlah Ibu beristirahat dulu beberapa
hari di rumahku.”
“Tidak usah. Nanti malah repot. Aku
sudah libur satu minggu. Tidak enak kalau harus libur lagi. Di rumah ada Yu Har
yang bisa menjaga Ibu. Sampeyan
tenang saja,” jawab Gati.
“Kita kemana, Pak?” Tanya sopir
taxi.
“Gambir, Pak!” sahut Gati.
***
Dua
bulan purna sejak Yu Warjinem pulang ke
desa. Dia telah
pulih seperti sedia kala. Tulang-tulangnya terasa kuat untuk bergerak dan
melakukan aktifitas apa saja. Menyapu daun-daun mangga dan beringin yang
bercecer di halaman, menguras dan membersihkan bak mandi, memasak, dan memberi
makan ayam-ayamnya bisa dia kerjakan tanpa kendala.
Tapi, berada di rumah saja membuat
Yu Warjinem tidak betah. Dengan uang hasil menggadaikan sawah, dia meminta Gati
untuk mencarikan tempat berjualan di pasar. Lapaknya yang lama sudah di tempati
orang lain. Mat Toha menyewakannya kepada Jumirah, bekas pembantu Yu Warjinem.
“Memangnya Jumirah jualan apa di
pasar?” Tanya Yu Warjinem kepada Yu Har.
“Jualan apa? Ya semanggi lah, Yu,”
jawab Yu Har.
“Oh, jadi dia mau menyaingi aku?”
“Wah, ya ndak tahu. Tapi kata orang-orang semanggi buatan Jumirah rasanya
sama persis dengan semanggi Yu Warjinem,” kata Yu Har.
“Itu kan kata orang-orang.”
“Lho, lha wong orang-orang yang
membeli, boleh-boleh saja mereka bilang begitu.”
“Katamu sendiri bagaimana?”
“Ya memang enak kok Yu,” sahut Yu
Har seenaknya. Yu Warjinem diam.
Di halaman, angin merontokkan
daun-daun beringin yang tua dan kekuningan. Sudah itu, di tanah, daun-daun itu bergeser, terbawa angin kecil ke kanan dan berhenti di comberan.
***
“Apa? Bagaimana bisa Wagirah
memasang harga tinggi untuk tempat jelek seperti itu?” Protes Yu Warjinem
tiba-tiba.
“Tapi itu sudah bagus, Bu. Di tempat
Kang Sapin, malah minta lebih dari itu. Itu pun kita harus bayar di muka untuk
tiga tahun,” jawab Gati.
“Tapi Wagirah itu siapa? Dia itu kan
masih saudara bapakmu sendiri. Berani-beraninya dia kasih harga segitu sama
kita!”
“Saudara kan orangnya. Tanah dan
lapaknya kan beda, Bu,” kata Gati mencoba mencairkan suasana.
Syahdan, Yu Warjinem pun tersenyum
dan mengalah. Dia sadar tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima
kenyataannya.
Melihat
ibunya tersenyum, Gati merasa lega.
“Kalau begitu, besok kita ke rumah
Wagirah,” kata Yu Warjinem akhirnya.
***
Pasar masih sepi ketika Jumirah
datang. Bersama beberapa pedagang lain di sekitarnya,
dia mulai mempersiapkan lapaknya. Tiba-tiba,
Gino, penjaga ponten pasar, memberi isyarat agar dia melihat ke suatu arah.
Jumirah
terperangah begitu dilihatnya seorang perempuan tua yang berjalan dari arah
parkiran. Sementara di belakangnya, seorang perempuan lain terlihat menggendong
bakul dan kantung plastik besar berisi kerupuk semanggi di atasnya.
“Yu
Warjinem?” kata Jumirah saat perempuan itu berdiri di hadapannya, “Sehat, Yu?”
Perempuan
itu tidak menjawab. Dia justru balik bertanya.
“Ramai
semanggimu, Jum?”
“Alhamdulillah,
Yu. Berkat doa sampeyan,” jawab
Jumirah, malu-malu.
“Syukurlah,”
kata Yu Warjinem. “Ayo, Har, bisa kesiangan kita,” kata Yu Warjinem kepada Yu
Har yang berdiri di belakangnya. Yu Har tersenyum sebentar kepada Jumirah,
kemudian berjalan mengikuti Yu Warjinem ke lapak mereka.